Teori Kedaulatan rakyat – Terdapat beberapa jenis teori kedaulatan yang diterapkan dalam praktik pemerintahan negara. Hal ini mengakibatkan perbedaan dalam sistem pemerintahan, kepemimpinan, dan pengelolaan negara, tergantung pada pusat kedaulatan yang dipegang. Di Indonesia, secara resmi, teori kedaulatan rakyat diadopsi sebagai dasar negara.
Pengertian Teori Kedaulatan Rakyat
Teori kedaulatan rakyat menjelaskan bahwa kekuasaan tertinggi dalam suatu negara berada di tangan rakyat, dan ini bertujuan untuk menyeimbangkan kekuasaan tunggal raja atau pemimpin agama. Oleh karena itu, teori ini menjadi landasan bagi negara-negara yang menganut sistem demokrasi. Beberapa tokoh yang mengusung teori ini adalah John Locke, Montesquieu, dan Jean-Jacques Rousseau.
Baca juga: Teori Terbentuknya Negara
Menurut John Locke, terbentuknya negara didasarkan pada prinsip pactum unionis dan pactum subjectionis.
- Pactum unionis adalah perjanjian antara individu untuk membentuk negara
- Pactum subjectionis adalah perjanjian antara individu dan negara yang telah terbentuk.
Dalam perjanjian ini, individu memberikan mandat kepada negara atau pemerintah untuk mengelola negara berdasarkan konstitusi yang telah disepakati. Mandat rakyat ini memberikan kekuasaan pada pemerintah untuk melaksanakan tugas dan kewajiban yang diatur dalam konstitusi.
Pembagian Kekuasaan Teori Kedaulatan Rakyat
John Locke membagi kekuasaan menjadi tiga bagian, yaitu:
Kekuasaan legislatif
Kekuasaan legislatif adalah kekuasaan yang diberikan pada lembaga legislatif atau parlemen untuk membuat dan menetapkan undang-undang. Dalam sistem demokrasi, kekuasaan legislatif biasanya diberikan pada wakil rakyat yang terpilih, seperti anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Indonesia atau anggota Kongres di Amerika Serikat.
Baca juga: Pengertian dan Sejarah Demokrasi Liberal di Indonesia
Di dalam kekuasaan legislatif, terdapat proses pembentukan undang-undang yang meliputi berbagai tahap, seperti pembahasan, pengajuan usul inisiatif undang-undang, dan pembentukan komisi-komisi untuk membahas rancangan undang-undang. Setelah disepakati oleh lembaga legislatif, undang-undang tersebut kemudian disampaikan ke lembaga eksekutif untuk ditandatangani dan diimplementasikan.
Selain membuat undang-undang, kekuasaan legislatif juga memiliki tanggung jawab untuk mengawasi kinerja pemerintah dan lembaga-lembaga publik lainnya. Hal ini dilakukan melalui proses seperti pengawasan anggaran, hearing atau penyelidikan, dan interpelasi. Melalui kegiatan pengawasan ini, lembaga legislatif berupaya memastikan bahwa pemerintah dan lembaga-lembaga publik lainnya bekerja sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing, serta memenuhi kewajiban mereka kepada rakyat.
Baca juga: Penerapan Trias Politika Pada Pemerintahan RI
Kekuasaan legislatif juga dapat mempengaruhi kebijakan pemerintah dengan cara melakukan amendemen terhadap undang-undang yang sudah ada atau dengan menolak usulan kebijakan dari pemerintah. Dengan demikian, kekuasaan legislatif menjadi penting dalam menjaga keseimbangan kekuasaan antara lembaga-lembaga pemerintahan dan masyarakat, serta memastikan bahwa kebijakan yang diambil selaras dengan kepentingan rakyat secara keseluruhan.
Kekuasaan eksekutif
Kekuasaan eksekutif adalah kekuasaan yang diberikan kepada pemerintah untuk melaksanakan kebijakan dan program-program yang telah ditetapkan oleh lembaga legislatif atau parlemen. Di dalam sistem demokrasi, kekuasaan eksekutif biasanya diberikan pada presiden, perdana menteri, atau kepala pemerintahan lainnya, serta pada lembaga-lembaga pemerintahan yang berada di bawahnya, seperti kementerian dan badan-badan pemerintahan.
Kekuasaan eksekutif meliputi berbagai fungsi, seperti pelaksanaan kebijakan dalam bidang ekonomi, sosial, dan politik, pengawasan keamanan dan pertahanan negara, serta pelaksanaan kebijakan luar negeri. Dalam menjalankan fungsi-fungsi ini, kekuasaan eksekutif dapat menggunakan berbagai instrumen seperti peraturan perundang-undangan, kebijakan administratif, dan instrumen kebijakan ekonomi.
Selain itu, kekuasaan eksekutif juga memiliki tanggung jawab untuk memimpin pemerintah dan koordinasi kegiatan pemerintah dengan berbagai sektor, termasuk sektor swasta dan masyarakat sipil. Dalam hal ini, kekuasaan eksekutif perlu mampu membangun hubungan yang baik dengan berbagai pihak dan berupaya memastikan bahwa kebijakan yang diambil sesuai dengan kepentingan masyarakat.
Dalam menjalankan tugasnya, kekuasaan eksekutif juga harus bertanggung jawab atas pelaksanaan program-program pemerintah dan kebijakan-kebijakan publik. Hal ini mencakup pemenuhan hak-hak masyarakat, keadilan sosial, dan upaya untuk mengurangi ketimpangan sosial. Selain itu, kekuasaan eksekutif juga bertanggung jawab atas pengelolaan keuangan negara dan pemberantasan korupsi.
Dalam beberapa negara, terdapat pembatasan terhadap kekuasaan eksekutif, seperti adanya sistem pengawasan dan keseimbangan kekuasaan antara lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Hal ini dilakukan untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan dan memastikan bahwa kebijakan yang diambil benar-benar menguntungkan rakyat secara keseluruhan.
Kekuasaan federatif
Kekuasaan federatif adalah kekuasaan yang berhubungan dengan hubungan luar negeri dan keamanan negara, serta peran negara dalam mengatur hubungan dengan negara-negara lain, baik secara politik maupun ekonomi. Dalam sistem negara federal, kekuasaan federatif biasanya dipegang oleh pemerintah pusat atau federal.
Baca juga: Content Pillar: Pengertian, Cara Membuat dan Contoh
Kekuasaan federatif meliputi beberapa hal, di antaranya:
Hubungan luar negeri
Menjalin hubungan dengan negara-negara lain dan mewakili negara dalam forum internasional seperti PBB, ASEAN, dan organisasi internasional lainnya. Negara juga berwenang untuk mengirimkan duta besar atau perwakilan negara ke negara lain dan menjalin hubungan diplomatik dengan negara-negara lain.
Kebijakan pertahanan
Menentukan kebijakan pertahanan dan keamanan nasional. Negara berhak untuk membentuk kebijakan pertahanan dan mengelola kekuatan militer untuk menjaga kedaulatan negara dari ancaman baik dari dalam maupun dari luar negeri.
Hubungan perdagangan
Menetapkan kebijakan perdagangan dengan negara-negara lain, misalnya dalam hal pembatasan ekspor-impor, perjanjian perdagangan, dan pengelolaan sumber daya alam. Hal ini bertujuan untuk melindungi kepentingan ekonomi negara dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Kebijakan imigrasi
Menetapkan kebijakan imigrasi, seperti menentukan siapa yang boleh masuk ke negara tersebut dan dalam kondisi apa, menetapkan batasan-batasan imigrasi, serta menetapkan aturan-aturan mengenai kewarganegaraan dan perizinan.
Kebijakan keamanan
Kekuasaan federatif mencakup peran negara dalam mengatur kebijakan keamanan nasional, seperti pengawasan terhadap intelijen negara, pemantauan keamanan siber dan kriminalitas, serta penanganan terhadap masalah terorisme dan kejahatan transnasional lainnya.
Dalam menjalankan kekuasaan federatif, negara perlu bekerja sama dengan negara-negara lain untuk mencapai tujuan bersama, seperti menjaga perdamaian, menyelesaikan konflik, dan meningkatkan kerja sama internasional. Hal ini dilakukan untuk memastikan bahwa kebijakan-kebijakan negara di bidang federatif dapat memberikan manfaat yang besar bagi masyarakat.
Penerapan Teori Kedaulatan Rakyat di Indonesia
Indonesia mengadopsi teori kedaulatan rakyat, yang diatur dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, yang menyatakan bahwa “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Prinsip ini juga dinyatakan dalam sila ke-5 Pancasila, yaitu “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”.
Penerapan teori kedaulatan rakyat di Indonesia dapat dilihat dari pembagian kekuasaan menjadi tiga, yaitu kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Kedaulatan rakyat terlihat terutama dalam kekuasaan legislatif, yang terdiri dari tiga lembaga yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), serta Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sebagaimana dijelaskan dalam Makna Trias Politika dan Penerapannya di Indonesia. Selain itu, presiden yang merupakan pemegang kekuasaan eksekutif dipilih langsung oleh rakyat.
Dengan demikian, prinsip permusyawaratan perwakilan yang diungkapkan dalam sila ke-5 Pancasila tercermin dari pemilihan wakil rakyat yang bertindak untuk mewakili rakyat dalam menjalankan lembaga-lembaga negara.
Kesimpulan
Indonesia mengadopsi teori kedaulatan rakyat sebagai dasar sistem pemerintahannya. Hal ini tertera dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 dan juga Pancasila sila ke-5 yang mengatur tentang permusyawaratan perwakilan. Penerapan teori kedaulatan rakyat di Indonesia tercermin dalam pembagian kekuasaan di Indonesia, yaitu kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Khususnya dalam kekuasaan legislatif yang terdiri dari tiga lembaga, yaitu MPR, DPR, dan DPD, serta dalam pemilihan presiden yang dilakukan langsung oleh rakyat. Dalam konteks ini, wakil-wakil rakyat berperan sebagai perwakilan dari rakyat dalam menjalankan lembaga-lembaga negara, sehingga konsep permusyawaratan perwakilan dalam Pancasila dapat terwujud di Indonesia.
Referensi
- Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 1 ayat (2).
- Pancasila, Sila ke-5.
- Fadillah, M. (2017). Makna Trias Politika dan Penerapannya di Indonesia. Jurnal Dinamika Hukum, 17(2), 186-195.
- Rosyadi, A. (2018). Konstitusi dan Keadilan: Konteks Sejarah, Teori, dan Realitas di Indonesia. Pustaka Pelajar.