Pancasila Sebagai Dasar Filosofis

Pancasila dianggap sebagai dasar filosofis bagi bangsa Indonesia. Pada tanggal 1 Juni, bangsa Indonesia merayakan hari lahir Pancasila. Referensi sejarah […]

Pancasila Sebagai Dasar Filosofis

Pancasila dianggap sebagai dasar filosofis bagi bangsa Indonesia. Pada tanggal 1 Juni, bangsa Indonesia merayakan hari lahir Pancasila. Referensi sejarah dari “kelahiran” Pancasila dapat ditemukan baik dalam bentuk sumber kepustakaan maupun media elektronik visual yang saat ini berkembang pesat. Namun, seringkali kita lupa untuk melihat Pancasila dari sudut pandang yang lebih luas dari sekedar perayaan “seremonial” kelahirannya. Sebaiknya, kita harus memahami secara komprehensif kedudukan Pancasila dalam kehidupan bangsa, jangan hanya dianggap sebagai sekedar ideologi negara saja.

Baca juga: Pancasila Sebagai Dasar Negara: Makna, Arti, dan Fungsi

Pancasila Sebagai Dasar Filosofis

Menurut Soekarno, Pancasila dianggap sebagai dasar filosofis atau pandangan hidup bangsa Indonesia. Karena itu, Pancasila memiliki dua fungsi penting, yaitu:

  1. Pancasila diharapkan sebagai pedoman dan petunjuk dalam menjalani keseharian hidup masyarakat Indonesia, baik dalam keluarga, masyarakat atau bangsa; dan diharapkan sebagai dasar negara, sehingga segala tatanan negara, termasuk hukum, politik, ekonomi dan sosial, harus didasarkan dan bertujuan pada Pancasila.
  2. Pancasila dalam posisinya sebagai kristalisasi nilai-nilai yang dimiliki dan diyakini kebenarannya oleh bangsa Indonesia, telah dirumuskan dalam alinea keempat pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Pancasila merupakan pandangan hidup bangsa, dan memiliki fungsi utama sebagai dasar negara Indonesia. Dalam posisinya yang demikian, Pancasila menempati posisi yang paling tinggi, sebagai sumber dari segala sumber hukum atau sebagai sumber hukum dasar nasional dalam tata hukum di Indonesia.

Pancasila dalam posisinya sebagai sumber hukum dasar nasional, menjadikan Pancasila sebagai ukuran dalam menilai hukum yang berlaku di Indonesia. Hukum yang dibuat dan berlaku harus mencerminkan kesadaran dan rasa keadilan yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Hukum di Indonesia harus menjamin dan merupakan perwujudan nilai-nilai Pancasila yang terkandung dalam pembukaan UUD 1945 dan interpretasinya dalam tubuh UUD 1945, dan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai tersebut.

Baca juga: Application of Pancasila as the Ethical System of the Indonesian Nation

Pancasila dalam kedudukannya sebagai sumber dari semua sumber hukum, atau sebagai sumber hukum dasar nasional, berada di atas konstitusi, yang berarti Pancasila berada di atas UUD 1945. Jika UUD 1945 dianggap sebagai konstitusi negara, maka Pancasila dianggap sebagai norma dasar negara yang fundamental.

Kaidah pokok yang fundamental memiliki hakikat dan kedudukan yang tetap, kuat, dan tidak berubah bagi negara tersebut. Pancasila tidak dapat diubah atau ditiadakan karena merupakan kaidah pokok yang fundamental. Bung Karno menyebut Pancasila sebagai dasar filosofis (fundamen filsafat), pikiran yang paling dalam, untuk kemudian di atasnya didirikan bangunan “Indonesia merdeka yang kekal dan abadi”. Secara yuridis formal berdasarkan Pasal 37 UUD 1945, konstitusi sebagai hukum dasar memungkinkan adanya perubahan, namun Pancasila dalam kedudukannya sebagai kaidah pokok negara (staats fundamental norm) memiliki sifat yang tetap kuat dan tak berubah. Staats fundamental norm adalah norma yang menjadi dasar pembentukan konstitusi, ia ada sebelum konstitusi.

Baca juga: Cara Memahami Pancasila Yang Benar

Pancasila sebagai staats fundamental norm diletakkan sebagai dasar asas dalam mendirikan negara, sehingga tidak dapat diubah. Hukum di Indonesia tidak memperbolehkan perubahan Pancasila, karena merupakan sumber dari segala sumber hukum atau sumber hukum dasar nasional di Indonesia. Merubah Pancasila berarti merubah dasar atau asas negara. Jika dasar atau asas fundamental dari negara tersebut diubah, maka secara otomatis negara yang di proklamasikan hasil perjuangan para pahlawan bangsa akan berubah atau tidak ada alasan dasarnya atau fundamentnya tidak ada.

Pancasila dikaitkan dengan teori tingkatan pembentukan sistem hukum

Hans Kelsen, seorang ahli hukum dan filsuf Austria yang bekerja di University of Berkeley Amerika Serikat dan dikenal sebagai pencetus Teori Hukum Murni, memiliki gagasan yang dikenal dengan teori tingkatan pembentukan hukum (stufenbau theorie), yang pada hakikatnya merupakan upaya untuk membuat kerangka hukum yang dapat digunakan di mana saja. Dalam perkembangan selanjutnya, gagasan ini diuraikan oleh Hans Nawiasky, seorang ahli hukum berkebangsaan Jerman yang merupakan “murid” dari Hans Kelsen, dengan teori von stufenfbau der rechtsordnung, yang menjelaskan bahwa susunan norma hukum dalam negara berlapis-lapis dan berjenjang dari yang tertinggi sampai terendah, serta terdapat pengelompokan norma hukum dalam negara.

Baca juga: Pokok Pikiran Pembukaan UUD 1945

Menurut pandangan Kelsen, tatanan hukum tertinggi adalah berpuncak pada basic norm atau grundnorm (norma dasar), yaitu konstitusi dalam pengertian materiil, bukan konstitusi formal. Norma yang validitasnya tidak dapat diperoleh dari norma lain yang lebih tinggi disebut sebagai norma dasar. Semua norma yang validitasnya dapat ditelusuri ke satu norma dasar yang sama membentuk suatu sistem norma atau sebuah tatanan norma. Norma dasar yang menjadi sumber utama merupakan pengikat diantara semua norma yang berbeda-beda yang membentuk suatu tatanan norma. Keabsahan suatu norma dapat diuji dengan mengonfirmasikan bahwa norma tersebut memperoleh validitasnya dari norma dasar yang membentuk tatanan norma tersebut.

Baca juga: Manajemen Konflik: Pengertian dan Fungsi

Konsep norma dasar atau staats fundamental norm merupakan norma tertinggi dalam suatu negara dan norma ini tidak dibentuk oleh norma yang lebih tinggi lagi, tetapi bersifat pre-supposed atau ditetapkan terlebih dahulu oleh masyarakat dalam negara dan merupakan norma yang menjadi tempat bergantungnya norma-norma hukum di bawahnya. Pancasila merupakan norma dasar yang menginduki segala macam norma dalam tatanan norma di Indonesia. Pola hubungan antar norma dapat digambarkan sebagai hubungan antara “superordinasi” dan “subordinasi” yang merupakan kiasan keruangan. Norma ini tidak dapat diubah dan menjadi sumber dari segala sumber hukum dalam negara. Kelsen menyebut ini sebagai Teori Hirarkis Norma atau stufenbau theorie, yang menyatakan bahwa norma-norma hukum di negara berlapis dan berjenjang dari yang tertinggi sampai terendah. Nawiasky kemudian mengembangkan gagasan ini dengan theorie von stufenbau der rechtsordnung yang menjelaskan bahwa norma-norma hukum juga terpengelompokkan dalam negara. Pancasila sebagai norma dasar membentuk dasar bagi pembentukan konstitusi dan semua norma hukum di Indonesia harus berdasarkan dan bertujuan pada Pancasila (Kelsen dan Nawiasky).

Dalam konsep stufenbau theorie, Pancasila diakui sebagai norma dasar atau norma fundamental negara yang berada di puncak piramida norma hukum. Norma ini merupakan sumber tertib hukum yang mengikat segala macam norma dalam tatanan norma di Indonesia. Pancasila menjadi acuan dalam pembentukan norma lainnya dan merupakan dasar bagi pembentukan konstitusi atau undang-undang dasar. Pancasila juga diakui sebagai norma yang tidak dapat diubah karena memegang peran penting dalam mendirikan negara.

Hal demikian, telah dikukuhkan oleh memorandum DPR-Gotong Royong yang kemudian diberi landasan yuridis melalui Ketetapan MPR No. XX/MPRS/1966 jo. Ketetapan MPR No. V/MPR/1973 jo Ketetapan MPR No. IX/MPR/1978[8]. Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum dimaksudkan sebagai sumber dari tertib hukum negara Indonesia. Menurut Roeslan Saleh, fungsi Pancasila sebagai sumber segala sumber hukum mengandung arti bahwa Pancasila berkedudukan sebagai:

  1. Ideologi hukum negara Indonesia
  2. kumpulan nilai-nilai yang harus berada dibelakang keseluruhan hukum Indonesia
  3. Asas yang harus diikuti sebagai petunjuk dalam mengadakan pilihan hukum Indonesia
  4. Sebagai suatu pernyataan dari nilai kejiwaan dan keinginan bangsa Indonesia

Keberadaan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum kemudian kembali dipertegas dalam Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 Tentang Sumber Hukum Dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan. Pasal 1 TAP MPR itu memuat tiga ayat:

  1. Sumber hukum adalah sumber yang dijadikan bahan untuk penyusunan peraturan perundang-undangan;
  2. Sumber hukum terdiri dari sumber hukum tertulis dan hukum tidak tertulis;
  3. Sumber hukum dasar nasional adalah Pancasila sebagaimana tertulis dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945

Pengaturan TAP MPR (Undefined) lebih jelas menjelaskan arti dari istilah “sumber hukum” dalam sistem hukum di Indonesia yaitu bahwa sumber hukum (tempat untuk menemukan dan mengungkapkan hukum) terdiri dari sumber yang tertulis dan tidak tertulis. Selain itu, Pancasila dijadikan sebagai acuan utama dalam pembuatan peraturan perundang-undangan. Namun, istilah Pancasila tidak lagi dijumpai sebagai sumber dari seluruh sumber hukum. Hal ini tidak mengganggu keberadaan Pancasila sebagai norma dasar yang menginduk semua norma, tetapi pasti mengurangi supremasi dan daya ikat Pancasila dalam tatanan hukum. Dikatakan demikian, karena nilai-nilai Pancasila seperti pandangan hidup, kesadaran, cita-cita hukum dan moral tidak lagi mendapat legitimasi yuridis. Terutama, sistem hukum modern sudah banyak dipengaruhi oleh aliran pemikiran positivisme hukum yang hanya mengakui peraturan tertulis. Oleh karena itu, adalah suatu kesalahan jika tidak menjelaskan secara eksplisit mengenai Pancasila sebagai sumber dari seluruh sumber hukum.

Baca juga: Strengthening the Understanding of Pancasila as the State Foundation to Achieve National Goals

Pancasila sebagai pandangan hidup atau dasar filosofis bangsa Indonesia memiliki posisi sebagai norma dasar negara, yang merupakan dasar dalam mendirikan negara, bersifat tetap dan tidak dapat diubah. Hukum di Indonesia tidak mengizinkan perubahan Pancasila, karena ia merupakan sumber dari semua sumber hukum atau sumber hukum dasar nasional di Indonesia. Penegasan dan legitimasi posisi Pancasila sebagai sumber semua sumber hukum negara (kaitannya dengan teori hierarki sistem hukum) telah jelas tertuang dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, juga telah jelas tercantum dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 yang terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019.

Kesimpulan

Pancasila, sebagai pandangan hidup atau dasar filosofis bangsa Indonesia, memiliki posisi penting sebagai norma dasar negara yang bersifat tetap dan tidak dapat diubah. Hukum di Indonesia tidak mengizinkan perubahan Pancasila karena ia merupakan sumber dari semua sumber hukum atau sumber hukum dasar nasional di Indonesia. Penegasan dan legitimasi posisi Pancasila sebagai sumber semua sumber hukum negara telah jelas tertuang dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 yang terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019.

Semoga bermanfaat

Referensi

Darmodiharjo, D. (1991). Santiaji Pancasila Suatu Tinjauan Filosofis, Historis, Dan Yuridis Konstitusional.

Febriansyah, F. I. (2017). Keadilan Berdasarkan Pancasila Sebagai Dasar Filosofis Dan Ideologis Bangsa. DiH: Jurnal Ilmu Hukum13(25), 1-27.

Ismayawati, A. (2018). Pancasila sebagai Dasar Pembangunan Hukum Di Indonesia. YUDISIA: Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum Islam8(1), 53-74.

Kelsen, H. (1967). Pure theory of law. Univ of California Press.

Kelsen, H. (1991). General theory of norms.

Pinasang, D. (2012). Falsafah Pancasila Sebagai Norma Dasar (Grundnorm) dalam Rangka Pengembanan Sistem Hukum Nasional. Jurnal Hukum UNSRAT20(3), 1-10.

Semadi, Y. P. (2019). Filsafat Pancasila Dalam Pendidikan Di Indonesia Menuju Bangsa Berkarakter. Jurnal Filsafat Indonesia2(2), 82-89.

Siswoyo, D. (2013). Pandangan bung karno tentang pancasila dan pendidikan. Jurnal Cakrawala Pendidikan5(1).

Wahyuningsih, S. E. (2014). Urgensi Pembaharuan Hukum Pidana Materiel Indonesia Berdasarkan Nilai–Nilai Ketuhanan Yang Maha Esa. Jurnal Pembaharuan Hukum1(1), 17-23.

Widisuseno, I. (2014). Azas Filosofis Pancasila Sebagai Ideologi Dan Dasar Negara. Humanika20(2), 62-66.

Please follow and like us:
WhatsApp
URL has been copied successfully!
Scroll to Top