
Bhineka tunggal ika merupakan salah satu dari 4 konsesus dasar berbangsa dan bernegara Republik Indonesia yang terdiri dari Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sebagai salah satu konsesu dasar, Bhineka tunggal ika mempunyai historis sejarah, makna dan fungsi, dan landasan teoritis, berikut ini penjelasannya:
Perspektif Historis Bhineka Tunggal Ika
Bhinneka Tunggal Ika, yang dikenal sebagai Tan Hana Dharmma Mangrwa, dikemukakan secara lebih jelas pada masa Majapahit. Namun, sebenarnya aliran ini telah dimulai sejak masa Wisnuwarddhana, ketika aliran Tantrayana mencapai puncak perkembangannya.
Kertanegara, putra mahkota, ditahbiskan sebagai Jnyanabajreswara atau Jnyaneswarabajra. Singasari dianggap sebagai embrio yang menyebabkan keberadaan dan keberlangsungan kerajaan Majapahit. Bhinneka Tunggal Ika dikemukakan oleh Mpu Tantular sebagai cara untuk mengatasi perbedaan keyakinan dan agama, khususnya dalam usaha membangun negara kerajaan Majapahit.
Baca juga: Penerapan Pancasila Sebagai Sumber Nilai HAM
Rumusan ini memberikan nilai-nilai yang menginspirasi sistem pemerintahan pada masa kemerdekaan, dan bahkan berhasil menumbuhkan rasa persatuan di masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, Bhinneka Tunggal Ika diangkat menjadi semboyan yang diabadikan dalam lambang NKRI Garuda Pancasila.
Bhinneka Tunggal Ika merupakan semboyan yang dijadikan lambang negara Republik Indonesia, menurut Kakawin Sutasoma (Purudasanta), pengertian Bhinneka Tunggal Ika ditekankan pada perbedaan kepercayaan dan anekaragam agama yang ada di kalangan masyarakat Majapahit.
Namun dalam lambang NKRI Garuda Pancasila, pengertian Bhinneka Tunggal Ika diperluas, mencakup tidak hanya perbedaan kepercayaan dan agama, tetapi juga perbedaan suku, bahasa, adat istiadat, dan beda kepulauan di dalam kesatuan nusantara. Bhinneka Tunggal Ika dapat diartikan sebagai berbeda-beda tetapi pada hakekatnya satu, yaitu satu bangsa dan satu negara Republik Indonesia.
Baca juga: Keberagaman Indonesia: Penyebab dan Contoh
Lambang NKRI Garuda Pancasila dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah nomor 66 Tahun 1951, yang dikeluarkan pada tanggal 17 Oktober dan diumumkan pada tanggal 28 Oktober 1951.
Usaha untuk membangun negara baik pada masa pemerintahan Majapahit maupun pemerintah NKRI didasarkan pada pandangan yang sama, yaitu semangat rasa persatuan, kesatuan, dan kebersamaan sebagai dasar dalam menegakkan negara.
Makna dan Fungsi Bhineka Tunggal Ika
Bhinneka Tunggal Ika merupakan semboyan yang sangat penting bagi bangsa Indonesia karena pengertian yang terkandung dalam seloka tersebut membimbing pemahaman bangsa Indonesia bahwa meskipun kita memiliki keanekaragaman dalam banyak hal, kita tetap satu jua.
Bangsa Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa yang memiliki sejarah, adat istiadat, bahasa, dan kebudayaan yang berbeda-beda. Keanekaragaman ini tidak dianggap sebagai halangan, melainkan sebagai kekayaan bangsa Indonesia.
Hal ini diwujudkan dalam semboyan nasional Indonesia, Bhinneka Tunggal Ika, yang terdapat pada lambang negara Indonesia. Ungkapan Bhinneka Tunggal Ika berasal dari bahasa Sanskrit yang terdapat dalam buku Sutasoma karya Mpu Tantular pada masa Majapahit.
Baca juga: Pancasila Sebagai Dasar Negara: Makna, Arti, dan Fungsi
“Semboyan Bhinneka Tunggal Ika” digunakan sebagai semboyan nasional sejak awal kemerdekaan Indonesia, untuk mendorong semangat persatuan bangsa. Semboyan ini menekankan pentingnya keanekaragaman Indonesia yang selalu dijaga dan dianggap sebagai aset nasional.
Semboyan tersebut mengandung makna bahwa meskipun Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa dengan budaya dan adat-istiadat yang berbeda, namun seluruhnya merupakan persatuan. Persatuan ini didefinisikan dalam Peraturan Pemerintah No 66 tahun 1951, yang diterbitkan pada tanggal 28 November 1951.
Makna dari Bhinneka Tunggal Ika adalah meskipun bangsa dan negara Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa dengan budaya dan adat-istiadat yang berbeda serta berbagai pulau wilayah negara, namun seluruhnya merupakan persatuan yaitu bangsa dan negara Indonesia. Keanekaragaman tersebut tidak dianggap sebagai perbedaan yang bertentangan, melainkan sebagai sintesa yang memperkaya sifat dan makna persatuan bangsa dan negara Indonesia.
Baca juga: 16 Teori Kepemimpinan Menurut Para Ahli
Menurut perkiraan para ahli, bangsa Indonesia terdiri dari lebih dari 300 suku bangsa atau golongan etnik. Contohnya, di Sumatera terdapat suku Aceh, Gayo, Batak, Minangkabau dan Melayu; di Jawa, suku Jawa dan Sunda; di Kalimantan, suku Banjar dan Dayak; di Sulawesi, suku Bugis, Mandar, Toraja, Makasar, Buton, Minahasa; di Maluku, suku Ambon dan Kei; di Papua, suku Irian; di Nusa Tenggara Timur, suku Timor, Flores dan Sumba; di Nusa Tenggara Barat, suku Sasak dan Bima; dan di Bali, suku Bali.
Setiap suku memiliki ciri khas yang berbeda karena perkembangan sejarah dan lingkungan alam yang mereka tempati selama berabad-abad. Contohnya, setiap daerah di Indonesia memiliki bahasa yang berbeda-beda, seperti orang Aceh berbahasa Aceh, orang Tapanuli berbahasa Batak, orang Sumatera Barat berbahasa Minang, orang Sulawesi Selatan berbahasa Bugis dan Ternate, dan orang Sunda berbahasa Sunda. S.J. Esser mencatat bahwa ada 102 bahasa daerah di seluruh Nusantara, dan jika dibagi lagi menjadi dialek, jumlahnya akan jauh lebih besar, misalnya saja di Papua ada 185 bahasa lokal.
Baca juga: Lambang Pancasila 1 Sampai 5: Arti, Makna, dan Fungsi
Namun, bahasa Melayu (Melayu Kuno) sudah digunakan sebagai bahasa pengantar di Nusantara sejak abad ke-13, yang mempermudah bangsa Indonesia untuk menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan melalui Sumpah Pemuda pada tahun 1928.
Semboyan Bhinneka Tunggal Ika merupakan dasar negara Indonesia yang harus dijadikan landasan dalam mewujudkan persatuan dan kesatuan di dalam bangsa. Generasi selanjutnya harus bersungguh-sungguh dalam menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari dengan saling menghargai perbedaan suku bangsa, ras, agama, bahasa, dan keanekaragaman lainnya. Tanpa kesadaran akan pentingnya persatuan, Indonesia akan hancur dan terpecah belah.
Perkembangan Bhineka Tunggal Ika
Indonesia merupakan negara yang terkenal dengan keragamannya yang terdiri dari berbagai suku bangsa dan hidup bersama dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang dibungkus dengan semangat Bhinneka Tunggal Ika. Dalam keragaman tersebut, modernisasi dan kemajuan zaman memiliki dua sisi yang berbeda. Di satu sisi, perubahan sosial yang dianggap positif oleh sebagian masyarakat dapat membawa kemajuan, namun di sisi lain, dapat menyebabkan ketertinggalan dan keterasingan pada kelompok masyarakat lain yang dipengaruhi oleh faktor keterikatan kultur, agama, dan lokasi, yang dikenal sebagai masyarakat hukum adat. Negara harus memberikan pengakuan dan perlindungan bagi masyarakat hukum adat agar mereka dapat tetap hidup dalam ketertinggalan dan keterbelakangan, selama hal tersebut merupakan adat-istiadat yang dipegang teguh.
Baca juga: Cara Membuat Google Form
Ancaman lain yang dihadapi oleh masyarakat adat di Indonesia adalah negara yang tidak mengakui keberadaan budaya atau aliran-aliran kepercayaan yang ada di masyarakat lokal. Hal ini dapat dilihat dari pengakuan negara terhadap enam agama yang sebenarnya bukan berasal dari masyarakat Indonesia. Ancaman lain yang cukup serius bagi masyarakat adat adalah tekanan dari kepentingan global dari korporasi besar melalui skenario liberalisasi yang bertujuan untuk menguasai sumber daya alam Indonesia, yang pada akhirnya sangat merugikan hak ulayat masyarakat adat yang sebenarnya merupakan pemilik sah dari sumber daya alam tersebut sejak jauh sebelum Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945.
Dalam konteks ini, perkembangan budaya di Indonesia sangat erat kaitannya dengan perkembangan agama yang dianut oleh masyarakat. Sejarah menunjukkan bahwa kerajaan-kerajaan seperti Sriwijaya dan Majapahit yang dahulu dikenal sebagai kerajaan Hindu, juga mempengaruhi budaya yang berkembang di masa itu. Begitu juga dengan kerajaan Islam di Indonesia yang memiliki pengaruh yang sama terhadap budaya yang berkembang di masa itu.
Landasan Teoritis Bhineka Tunggal Ika
Beberapa landasan teoretis utama Bhinneka Tunggal Ika sebagai berikut:
Tidak ada pembenturan konsep baru
Indonesia mempunyai berbagai macam agama dan kepercayaan, dengan Bhinneka Tunggal Ika, tidak dimaksudkan untuk membentuk agama baru. Setiap agama diakui seperti apa adanya, namun dalam hidup beragama di Indonesia dicari “Common Denominator”, yaitu prinsip-prinsip yang sama dari setiap agama yang dipegang sebagai kesatuan, dan digunakan sebagai acuan dalam hidup berbangsa dan bernegara.
Tidak bersifat sektarian dan eksklusif
Dalam hidup berbangsa dan bernegara tidak mengakui harkat dan martabat pihak lain. Pandangan sektarian dan eksklusif akan menyebabkan terbentuknya “keakuan” yang berlebihan tanpa memperhitungkan pihak lain.
Tidak Bersifat Formalitis
Bhinneka Tunggal Ika tidak dianggap sebagai suatu konsep formal saja, melainkan harus dilandasi oleh sikap saling mempercayai, saling menghormati, dan saling mencintai untuk menciptakan kehidupan yang rukun dan damai. Dengan cara ini, keanekaragaman dapat digabungkan dalam persatuan bangsa.
Bersifat konvergen bukan divergen
Perbedaan yang ada dalam keanekaragaman tidak diperbesar, tetapi dicari titik temu dalam bentuk kesepakatan bersama. Hal ini akan terwujud jika ditunjang oleh sikap toleransi, non sektarian, inklusif, akomodatif, dan gotong royong dalam hidup rukun dan damai.
Kesimpulan
Bhinneka Tunggal Ika tidak dianggap sebagai suatu konsep formal saja, melainkan harus dilandasi oleh sikap saling mempercayai, saling menghormati, dan saling mencintai untuk menciptakan kehidupan yang rukun dan damai. Dengan cara ini, keanekaragaman dapat digabungkan dalam persatuan bangsa. Selain itu, Bhinneka Tunggal Ika harus bersifat konvergen, bukan divergen, yang artinya perbedaan yang ada dalam keanekaragaman tidak diperbesar, tetapi dicari titik temu dalam bentuk kesepakatan bersama. Hal ini akan terwujud jika ditunjang oleh sikap toleransi, non sektarian, inklusif, akomodatif, dan gotong royong dalam hidup rukun dan damai.
Semoga bermanfaat
Referensi
Agustin, S. M., & Al Azhar, K. M. (2011). Bhinneka Tunggal Ika atau Bhineka Tunggal Ika (Sebuah Tinjauan Paradigma Klasik Ilmu Sosial dalam Keberagaman dan Persatuan di Indonesia). Konferensi Nasional Komunikasi” Membumikan Komunikasi di Indonesia”. Depok: Departemen Ilmu Komunikasi FISIP UI, 194-202.
Lestari, G. (2016). Bhinnekha tunggal ika: Khasanah multikultural indonesia di tengah kehidupan SARA. Jurnal Ilmiah Pendidikan Pancasila Dan Kewarganegaraan, 28(1).
Tjarsono, I. (2013). Demokrasi Pancasila dan bhineka tunggal ika solusi heterogenitas. Transnasional, 4(2), 876-888.
Utami, I. W. P., & Widiadi, A. N. (2016). Wacana Bhineka Tunggal Ika dalam Buku Teks Sejarah. Paramita: Historical Studies Journal, 26(1), 106-117.
https://kesbangpol.bantenprov.go.id