7 Fungsi Gross Profit Margin dalam Bisnis

Fungsi Gross Profit Margin

Fungsi Gross Profit Margin – Setiap bisnis, baik skala kecil maupun korporasi besar, harus memahami betul bagaimana mereka menghasilkan keuntungan. Salah satu metrik kunci yang sering digunakan untuk mengukur efisiensi operasional dan kesehatan keuangan adalah Gross Profit Margin (GPM) atau margin laba kotor.

Tapi apa sebenarnya fungsi Gross Profit Margin? Mengapa angka ini begitu krusial bagi manajemen, investor, dan bahkan kreditur?

Apa Itu Gross Profit Margin?

Gross Profit Margin (GPM) adalah rasio keuangan yang menunjukkan persentase pendapatan yang tersisa setelah dikurangi Harga Pokok Penjualan (HPP). Dengan kata lain, ini mengukur seberapa efisien perusahaan mengubah bahan baku dan biaya produksi menjadi keuntungan.

Rumus Gross Profit Margin:

GPM=(Penjualan Bersih−HPPPenjualan Bersih)×100%GPM=(Penjualan BersihPenjualan Bersih−HPP​)×100%

Contoh:

  • Pendapatan perusahaan: Rp1 miliar
  • HPP: Rp600 juta
  • Laba kotor: Rp400 juta

Maka, GPM-nya adalah:

(400.000.0001.000.000.000)×100%=40%(1.000.000.000400.000.000​)×100%=40%

Artinya, dari setiap Rp1 yang dihasilkan, perusahaan menyisakan Rp0,40 sebagai laba kotor sebelum dikurangi biaya operasional lainnya.

Fungsi Gross Profit Margin dalam Bisnis

Gross Profit Margin (GPM) bukan sekadar angka dalam laporan keuangan, melainkan cerminan nyata dari kesehatan operasional bisnis. Mari kita eksplorasi secara mendalam tujuh fungsi krusial GPM dalam pengelolaan perusahaan.

1. Mengukur Efisiensi Produksi Secara Komprehensif

GPM berfungsi sebagai termometer utama untuk mengevaluasi efisiensi produksi. Ketika kita melihat GPM yang tinggi, itu merupakan indikasi kuat bahwa perusahaan berhasil mengoptimalkan biaya produksi relatif terhadap pendapatan yang dihasilkan. Sebaliknya, GPM yang rendah seperti alarm yang berbunyi, menandakan kemungkinan adanya masalah dalam berbagai aspek operasional.

Masalah-masalah tersebut bisa muncul dalam beberapa bentuk. Pertama, pembelian bahan baku yang tidak efisien, baik karena harga yang terlalu mahal maupun kualitas yang tidak sesuai. Kedua, proses produksi yang boros, mungkin karena metode kerja yang ketinggalan zaman atau penggunaan mesin yang sudah tidak optimal. Ketiga, manajemen persediaan yang buruk, di mana stok menumpuk dan menyebabkan biaya penyimpanan membengkak.

Sebagai contoh, bayangkan dua perusahaan makanan yang bersaing. Perusahaan pertama memiliki GPM 35%, sementara pesaing utamanya mencapai 50%. Perbedaan yang signifikan ini menunjukkan dengan jelas bahwa pesaing tersebut entah lebih pandai dalam mengendalikan biaya produksi, atau mungkin memiliki strategi penetapan harga yang lebih cerdas. Dalam dunia bisnis yang kompetitif, perbedaan 15% ini bisa menjadi penentu hidup matinya perusahaan.

2. Analisis Harga Jual

Fungsi kedua GPM yang tak kalah penting adalah sebagai alat analisis harga jual. Margin ini memberikan gambaran yang jelas tentang apakah struktur harga yang selama ini diterapkan sudah optimal atau justru merugikan. Ketika GPM menunjukkan angka yang terlalu rendah, itu pertanda bahwa perusahaan perlu segera mengambil tindakan korektif.

Tindakan korektif tersebut bisa berupa beberapa opsi strategis. Pertama, menaikkan harga jual produk, tentu saja dengan mempertimbangkan elastisitas permintaan pasar. Kedua, melakukan efisiensi biaya produksi, mungkin dengan mencari bahan baku alternatif yang lebih murah tanpa mengorbankan kualitas. Ketiga, yang lebih radikal adalah mengganti supplier bahan baku jika memang ditemukan bahwa harga dari pemasok saat ini tidak kompetitif.

Contoh dari fungsi ini bisa kita lihat di industri restoran. Sebuah restoran ternama melihat GPM-nya merosot dari 60% menjadi 45% dalam waktu satu tahun. Setelah dilakukan investigasi mendalam, terungkap bahwa harga daging sebagai bahan baku utama telah naik signifikan, namun harga menu tidak disesuaikan. Dalam situasi seperti ini, manajemen memiliki dua pilihan solusi: menaikkan harga menu atau mencari supplier daging alternatif yang lebih murah. Keputusan akhir tentu harus mempertimbangkan berbagai faktor, termasuk reaksi pelanggan dan positioning merek.

3. Evaluasi Kinerja Perusahaan

Bagi investor dan manajemen perusahaan, GPM berfungsi sebagai alat evaluasi kinerja yang objektif dan terukur. Angka ini memungkinkan berbagai analisis penting yang menjadi dasar pengambilan keputusan strategis.

Pertama, GPM memungkinkan perbandingan kinerja perusahaan dari waktu ke waktu. Dengan melacak perkembangan GPM selama beberapa periode, manajemen bisa melihat apakah perusahaan sedang berada di jalur yang tepat atau justru mengalami kemunduran. Kedua, GPM menjadi ukuran keberhasilan berbagai strategi bisnis yang telah diimplementasikan. Ketiga, angka ini membantu menentukan apakah perusahaan perlu melakukan ekspansi atau justru harus fokus pada efisiensi terlebih dahulu.

Misalnya, sebuah perusahaan yang mampu mempertahankan GPM di kisaran 40-45% secara konsisten selama tiga tahun terakhir menunjukkan bahwa mereka memiliki kontrol yang baik terhadap biaya produksi. Namun, jika tiba-tiba GPM turun drastis menjadi 30%, ini adalah sinyal merah yang mengharuskan manajemen untuk segera melakukan investigasi mendalam. Penurunan tajam seperti ini bisa disebabkan oleh berbagai faktor, mulai dari kenaikan harga bahan baku yang tidak terantisipasi hingga inefisiensi dalam proses produksi.

4. Benchmarking terhadap Kompetitor

Dalam dunia bisnis yang kompetitif, GPM berfungsi sebagai alat benchmarking yang sangat berharga. Dengan membandingkan GPM perusahaan dengan pesaing di industri yang sama, manajemen bisa mendapatkan gambaran yang jelas tentang posisi kompetitif mereka.

Setiap industri memang memiliki karakteristik GPM yang berbeda-beda. Di industri retail, GPM normal biasanya berada di kisaran 25-35%. Industri manufaktur umumnya memiliki GPM lebih tinggi, sekitar 40-60%. Sementara itu, perusahaan teknologi sering kali menikmati GPM yang sangat tinggi, bisa mencapai 70-80% berkat skala ekonomi dan biaya produksi yang relatif rendah.

Ketika sebuah perusahaan retail memiliki GPM hanya 15%, jauh di bawah standar industri, ini adalah indikasi kuat bahwa ada yang salah dalam manajemen biaya atau strategi harga perusahaan tersebut. Mungkin biaya pasokannya terlalu tinggi, atau harga jualnya terlalu rendah dibandingkan pesaing. Tanpa perbaikan, perusahaan seperti ini akan kesulitan bersaing dalam jangka panjang.

5. Penentu Kelayakan Investasi

Bagi para investor, GPM berfungsi sebagai salah satu indikator utama dalam menilai kelayakan investasi. Perusahaan dengan GPM tinggi umumnya dianggap lebih mampu menghasilkan keuntungan berkelanjutan dan memiliki daya tahan bisnis yang lebih baik.

Ambil contoh dua startup yang sedang mencari pendanaan. Startup A memiliki GPM 65%, sementara Startup B hanya 30%. Dalam pandangan investor, Startup A jelas lebih menarik karena menunjukkan efisiensi produksi yang superior. GPM yang tinggi juga memberi ruang lebih besar bagi perusahaan untuk berinvestasi dalam pertumbuhan, berinovasi, atau bertahan saat terjadi gejolak ekonomi.

Fungsi GPM dalam penilaian investasi ini semakin krusial di era dimana investor semakin cerdas dan selektif dalam menanamkan modalnya. Mereka tidak hanya melihat potensi pendapatan, tetapi juga seberapa efisien perusahaan bisa mengubah pendapatan tersebut menjadi laba.

6. Sistem Peringatan Dini Masalah Operasional

Salah satu fungsi GPM yang sering diabaikan adalah sebagai sistem peringatan dini untuk berbagai masalah operasional. Penurunan GPM, terutama yang terjadi secara tiba-tiba, seringkali merupakan gejala dari masalah yang lebih mendasar.

Masalah-masalah yang bisa dideteksi melalui penurunan GPM antara lain kenaikan harga bahan baku yang tidak terantisipasi, pemborosan dalam proses produksi, atau persaingan harga yang tidak sehat di pasar. Dengan memantau GPM secara rutin, manajemen bisa mendeteksi masalah ini lebih awal sebelum berdampak lebih serius pada profitabilitas perusahaan.

Sebuah studi kasus menarik datang dari industri tekstil. Sebuah pabrik tekstil melihat GPM-nya merosot dari 50% menjadi 35% hanya dalam waktu enam bulan. Setelah dilakukan audit menyeluruh, terungkap bahwa mesin-mesin produksi yang sudah tua menyebabkan pemborosan bahan baku yang signifikan. Solusi yang diambil adalah melakukan upgrade mesin, yang meskipun memerlukan investasi besar di awal, tapi terbukti mampu mengembalikan GPM ke level semula dalam jangka panjang.

7. Dasar Perencanaan Keuangan yang Akurat

Terakhir, GPM berfungsi sebagai fondasi penting dalam perencanaan keuangan perusahaan. Dengan memahami GPM saat ini dan trennya, manajemen bisa membuat berbagai proyeksi dan rencana yang lebih akurat.

Pertama, GPM membantu dalam memproyeksikan laba di masa depan. Kedua, angka ini menjadi pertimbangan penting dalam merencanakan berbagai pengeluaran strategis seperti penelitian dan pengembangan, pemasaran, atau ekspansi bisnis. Ketiga, GPM membantu menentukan anggaran produksi yang optimal.

Sebagai contoh ketika sebuah perusahaan menetapkan target GPM 50% untuk tahun depan. Berdasarkan target ini, manajemen bisa menghitung berapa maksimal HPP yang boleh dikeluarkan agar target tersebut tercapai. Perhitungan ini kemudian menjadi panduan dalam menyusun anggaran produksi dan strategi pembelian bahan baku.

Bagaimana Meningkatkan Gross Profit Margin?

Ketika Gross Profit Margin (GPM) bisnis Anda berada di bawah standar industri atau mengalami penurunan signifikan, langkah cepat dan strategis harus segera diambil. Berikut adalah beberapa pendekatan yang dapat membantu memperbaiki margin laba kotor:

1. Negosiasi yang Lebih Kuat dengan Supplier

Pembelian bahan baku sering kali menjadi komponen terbesar dalam Harga Pokok Penjualan (HPP). Jika harga bahan baku terlalu tinggi, margin akan tertekan. Beberapa langkah yang bisa diambil:

  • Jangan terjebak dalam hubungan dengan satu supplier saja. Lakukan riset pasar untuk menemukan pemasok dengan harga lebih kompetitif tanpa mengorbankan kualitas. Bandingkan penawaran dari beberapa vendor sebelum memutuskan
  • Supplier biasanya memberikan potongan harga untuk pembelian dalam jumlah besar. Jika arus kas memungkinkan, pertimbangkan untuk melakukan pembelian grosir. Namun, pastikan juga bahwa Anda memiliki sistem penyimpanan yang memadai agar bahan baku tidak rusak atau kadaluarsa
  • Harga bahan baku yang fluktuatif dapat mengganggu perencanaan keuangan. Dengan membuat kontrak jangka panjang, Anda bisa mengamankan harga yang stabil, bahkan ketika terjadi inflasi atau kenaikan harga di pasar.

2. Optimasi Proses Produksi untuk Mengurangi Pemborosan

Biaya produksi yang tidak efisien bisa menjadi penyebab utama rendahnya GPM. Beberapa cara untuk meningkatkan efisiensi:

  • Lean manufacturing berfokus pada penghilangan pemborosan dalam proses produksi, seperti waktu tunggu yang terlalu lama, pergerakan bahan yang tidak perlu, atau produksi berlebih. Dengan mengurangi waste, biaya produksi dapat ditekan tanpa mengurangi kualitas output.
  • Investasi dalam mesin atau software otomatisasi mungkin memerlukan modal awal yang besar, tetapi dalam jangka panjang dapat mengurangi biaya tenaga kerja dan meningkatkan konsistensi produksi. Contohnya, penggunaan sistem ERP untuk mengelola produksi atau robotik dalam lini perakitan.
  • Kesalahan produksi yang berulang dapat menyebabkan pemborosan bahan baku dan waktu. Dengan memberikan pelatihan berkala, karyawan dapat bekerja lebih efektif dan mengurangi kesalahan yang berujung pada biaya tambahan.

3. Meninjau Ulang Strategi Penetapan Harga

Jika biaya produksi sudah optimal tetapi margin tetap rendah, mungkin masalahnya terletak pada strategi harga. Beberapa pendekatan yang bisa dipertimbangkan:

  • Lakukan riset pasar untuk mengetahui sejauh mana pelanggan sensitif terhadap kenaikan harga. Jika brand Anda memiliki nilai tambah yang kuat (misalnya, kualitas premium atau layanan unggulan), kenaikan harga mungkin tidak akan mengurangi permintaan secara signifikan.
  • Daripada hanya menjual produk dasar, coba kembangkan varian premium dengan fitur atau kemasan eksklusif. Produk dengan positioning lebih tinggi biasanya memiliki margin yang lebih besar.
  • Harga Rp99.900 terkesan lebih murah dibanding Rp100.000, meskipun perbedaannya hanya Rp100. Teknik seperti ini bisa mempengaruhi persepsi pelanggan tanpa harus menurunkan harga secara signifikan.

4. Manajemen Persediaan yang Lebih Efektif

Persediaan yang tidak terkontrol bisa menjadi beban biaya tersembunyi. Beberapa langkah perbaikan:

  • Stok berlebih tidak hanya memakan biaya gudang tetapi juga berisiko kadaluarsa atau usang. Gunakan data penjualan historis untuk memprediksi permintaan dan mengatur pembelian bahan baku secara lebih akurat.
  • Software manajemen persediaan dapat membantu memantau stok secara real-time, mengingatkan ketika stok hampir habis, dan mencegah kelebihan atau kekurangan bahan baku.
  • Audit fisik persediaan membantu menemukan selisih antara catatan sistem dan stok aktual. Dengan demikian, Anda bisa mengidentifikasi kebocoran, pencurian, atau kesalahan pencatatan yang selama ini menggerogoti margin.

Penutup

Gross Profit Margin (GPM) bukan sekadar angka di laporan keuangan. Ini adalah tolok ukur vital yang menunjukkan seberapa efisien bisnis mengelola biaya produksi dan menghasilkan laba.

Fungsi utamanya meliputi:

  • Mengukur efisiensi produksi
  • Membantu penetapan harga yang optimal
  • Alat evaluasi kinerja perusahaan
  • Pembanding dengan kompetitor
  • Penentu kelayakan investasi
  • Pendeteksi masalah operasional
  • Dasar perencanaan keuangan

Jika GPM bisnis rendah, segera lakukan analisis mendalam untuk menemukan akar masalahnya. Dengan memperbaiki margin laba kotor, profitabilitas perusahaan akan meningkat, dan bisnis bisa tumbuh lebih sustainable.

Baca juga:

Referensi

  1. Ramadhan, A. S., & Nuraliati, A. (2020). The Effect of Net Profit Margin and Earning Per Share on Share Prices. https://doi.org/10.36555/ALMANA.V4I3.1475
  2. Yuliantin, A., & Aprianti, K. (2022). Analisis pengaruh gross profit margin(gpm),return on asset(roa),debt to equity rasio(der) dan net profit margin(npm) terhadap pertumbuhan laba pada pt. sat nusa persada tbk. Jurnal Bina Manajemen. https://doi.org/10.52859/jbm.v11i1.222
  3. Vance, D. E. (2021). Gross Margin, Gross Profit and the Price Elasticity of Demand. The Journal of Men’s Studies. https://doi.org/10.5430/JMS.V12N3P1
  4. Ferdian, R., Suryadi, E., & Safitri, H. (2018). Analisis Dividend Payout Ratio (DPR), Gross Profit Margin (GPM), dan Net Profit Margin (NPM) Terhadap Harga Saham Indeks PEFINDO-25. https://doi.org/10.29406/JPR.V5I1.1251
Please follow and like us:
Scroll to Top